Pages

Kamis, 15 Juli 2010

Seorang Anak dan Piano




Seorang ayah yang memiliki putra yang berusia kurang lebih 5 tahun, memasukkan putranya tersebut ke sekolah musik untuk belajar piano. Ia rindu melihat anaknya kelak menjadi seorang pianis yang terkenal. Selang beberapa waktu kemudian,di kota tersebut datang seorang pianis terkenal.

Karena ketenarannya, dalam waktu yang sangat singkat tiket konser telah terjual habis. Sang ayah membeli 2 buah tiket pertunjukan, untuk dirinya dan anaknya. Pada hari pertunjukan, satu jam sebelum konser dimulai, kursi telah terisi penuh, sang ayah duduk dan putranya berada di sampingnya.

Seperti layaknya seorang anak kecil, anak ini pun tidak bisa betah duduk diam terlalu lama,tanpa sepengetahuan ayahnya, ia menyelinap pergi.

Ketika lampu gedung mulai di redupkan, sang ayah sangat terkejut menyadari putranya tidak ada disampingnya. Ia lebih terkejut lagi ketika melihat anaknya berada dekat panggung pertunjukan, dan sedang berjalan menghampiri piano yang akan dimainkan pianis tersebut.

Didorong oleh rasa ingin tahu, tanpa rasa takut anak tersebut duduk di depan piano dan mulai memainkan sebuah lagu, lagu yang sederhana, Twinkle-twinkle Little Star. Operator lampu sorot, yang terkejut mendengar adanya suara piano mengira bahwa konser sudah dimulai tanpa aba-aba lebih dahulu, dia langsung menyorotkan lampunya kearah panggung. Seluruh penonton terkejut, melihat yang berada di panggung bukan seorang pianis, tapi hanya seorang anak kecil. Sang pianis juga terkejut dan bergegas naik ke panggung.

Melihat semangat anak tersebut, sang pianis tidak jadi marah. Ia tersenyum dan berkata "Teruslah bermain" dan sang anak yang mendapat ijin, meneruskan permainannya. Sang pianis lalu duduk disamping anak itu dan mulai bermain mengimbangi permainan anak itu, ia mengisi semua kelemahan permainan anak itu, dan akhirnya tercipta suatu komposisi permainan yang sangat indah. Bahkan mereka seakan menyatu dalam permainan piano tersebut.
Ketika mereka berdua selesai, seluruh penonton menyambut dengan meriah, karangan bunga dilemparkan ke tengah panggung. Sang anak jadi GR, pikirnya, " Gila, baru belajar sebulan saja aku sudah hebat!"

Ia lupa bahwa yang mendapat sorak-sorai penonton adalah sang pianis yang duduk di sebelahnya, yang mengisi semua kekurangannya dan menjadikan permainannya sempurna.

[taken from Bang Joan's blog]

Senin, 12 Juli 2010

Kucing Terburuk di Dunia






Pribadi yang lemah merupakan satu-satunya cacat yang tak termaafkan.—Francóis de La Róchefoucld.


Pertama kali aku melihat Smoky, ia sedang terbakar! Aku dan tiga anakku pergi ke tempat pembuangan sampah di pinggiran kota gurun Arizona untuk membuang sampah mingguan. Waktu kami mendekati lubang pembakaran, kami mendengar eongan paling mengenaskan dari seekor kucing yang terperangkap di antara tumpukan sampah.

Tiba-tiba sebuah kotak kardus besar, yang oleh pemiliknya diikat dengan kawat, terkena lidah api dan meledak. Dengan suara eongan panjang memilukan, hewan yang terperangkap di dalamnya melesat ke udara seperti sebuah roket menyala dan jatuh ke dalam lubang penuh abu panas.

”Bu, tolonglah dia!” teriak Jayme, anakku yang berusia tiga tahun sambil bersama kakaknya, Becky, enam tahun,membungkuk di tepi lubang.

”Rasanya tidak mungkin masih hidup.” kata Scott, empat belas tahun. Akan tetapi tumpukan abu itu bergerak, dan seekor anak kucing mungil, dengan rupa yang hampir tidak bisa dikenali, secara menakjubkan berusaha muncul ke permukaan dan merangkak ke arah kami dalam keadaan mengenaskan.

”Kena!” seru Scott. Waktu anakku, sambil berdiri dengan kaki terbenam dalam abu sampai selutut, membungkus anak kucing itu dengan bandanaku, aku heran mengapa binatang itu tidak menangis karena sakit tambahan yang dideritanya. Belakangan kami sadar bahwa eongannya beberapa saat lampau adalah yang terakhir.

Di peternakan, kami sedang mengobati anak kucing itu ketika suamiku, Bill, datang, dengan wajah kecapaian setelah seharian membetulkan pagar.

”Ayah! Kami menemukan anak kucing yang terbakar,” seru jayme.

Begitu melihat pasien kami, reaksi wajahnya yang khas langsung muncul. Ini bukan pertama kali kami menyambutnya dengan hewan yang terluka. Walaupun Bill seorang penggerutu, ia tidak tahan melihat makhluk hidup yang menderita. Maka ia membantu membuatkan kandang, sangkar atau tempat bertengger untuk sigung, kelinci, dan burung yang kami bawa pulang, bagaimanapun, yang satu ini berbeda. Ini seekor kucing. Dan Bill, jelas sekali, tidak menyukai kucing.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...