Pages

Selasa, 30 April 2013

Kasih Terbesar






“Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”




Pada suatu siang, sebuah peluru mortir mendarat di sebuah panti asuhan yang terletak di perkampungan kecil Vietnam. Seorang petugas panti asuhan dan dua orang anak langsung tewas, sedangkan beberapa anak lainnya terluka, termasuk seorang gadis kecil yang berusia sekitar 8 tahun. Orang-orang dari kampung tersebut segera meminta pertolongan medis dari kota terdekat. Akhirnya, seorang dokter Angkatan Laut Amerika dan seorang perawat dari Perancis yang kebetulan berada di kota itu bersedia menolong. Dengan membawa Jeep yang berisi obat-obatan dan perlengkapan medis, mereka berangkat menuju panti asuhan tersebut.

Setelah melihat keadaan gadis kecil itu, dokter menyimpulkan bahwa anak tersebut sudah dalam keadaan yang sangat kritis. Tanpa tindakan yang cepat, anak itu akan segera meninggal kehabisan darah. Transfusi darah adalah jalan terbaik untuk keluar dari masa kritisnya. Dokter dan perawat tersebut segera mengadakan pengujian singkat kepada orang-orang di panti asuhan, termasuk anak-anak untuk menemukan golongan darah yang cocok dengan gadis kecil itu. Dari pengujian tersebut ditemukan beberapa orang anak yang memiliki kecocokan darah dengan gadis kecil itu.

Sang dokter yang tidak begitu lancar berbahasa Vietnam berusaha keras menerangkan kepada anak-anak tersebut bahwa gadis kecil itu hanya bisa ditolong dengan menggunakan darah salah satu anak-anak itu. Kemudian, dengan berbagai bahasa isyarat, tim medis menanyakan apakah ada di antara anak-anak itu yang bersedia menyumbangkan darahnya bagi si gadis kecil yang terluka parah. Permintaan itu ditanggapi dengan diam seribu bahasa.

Setelah agak lama, seorang anak mengacungkan tangannya perlahan-lahan, tetapi dalam keraguan ia menurunkan tangannya lagi, walaupun sesaat kemudian ia mengacungkan tangannya lagi.

 “Oh, terima kasih,” kata perawat itu terpatah-patah.

“Siapa namamu?”

“Heng,” jawab anak itu.

Heng kemudian dibaringkan ke tandu, lengannya diusap dengan alkohol, dan kemudian sebatang jarum dimasukkan ke dalam pembuluh darahnya. Selama proses ini Heng terbaring kaku, tidak bergerak sama sekali. Namun, beberapa saat kemudian ia menangis terisak-isak, dan dengan cepat menutupi wajahnya dengan tangannya yang bebas.

 “Apakah engkau kesakitan, Heng?” tanya dokter itu.

Heng menggelengkan kepalanya, tetapi tidak lama kemudian Heng menangis lagi, kali ini lebih keras. Sekali lagi dokter bertanya, apakah jarum yang menusuknya tersebut membuatnya sakit, tetapi Heng menggelengkan kepalanya lagi. Tangisan Heng pun tidak juga berhenti dan malah makin memilukan. Mata Heng terpejam rapat, sedangkan tangannya berusaha menutup mulutnya untuk menahan isakan tangis. Tim medis menjadi khawatir dan mengkhawatirkan ada sesuatu yang tidak beres.

Untunglah seorang perawat asli Vietnam segera datang. Melihat anak kecil itu yang tampak tertekan, ia kemudian berbicara cepat dalam bahasa Vietnam. Perawat Vietnam itu mendengarkan jawaban anak itu dengan penuh perhatian, dan lalu perawat itu menjelaskan sesuatu pada Heng dengan nada suara yang menghibur. Anak itu mulai berhenti menangis dan menatap lembut mata perawat Vietnam itu beberapa saat. Ketika perawat Vietnam itu mengangguk, tampak sinar kelegaan menyinari wajah Heng.

Sambil melihat ke atas, perawat itu berkata lirih kepada dokter Amerika tersebut, “Ia mengira bahwa ia akan mati. Ia salah paham. Ia mengira anda memintanya untuk memberikan seluruh darahnya agar gadis kecil itu tetap hidup.”

 “Tetapi kenapa ia tetap mau melakukannya ?” tanya sang perawat Perancis dengan heran. Perawat Vietnam itu kembali bertanya kepada Heng dan anak lelaki itu menjawab dengan singkat, “Ia sahabat saya.”

(Seperti yang ditulis oleh Kolonel dr. John W. Mansur, - termuat dalam buku “The Missileer”, New York, 2004)

Senin, 29 April 2013

Blind Spot Area





Semua atlet profesional memiliki pelatih. Bahkan, pegolf sehebat Tiger Woods sekalipun juga memiliki pelatih. Padahal jika mereka berdua disuruh bertanding, jelas Tiger Woods yang akan memenangkan pertandingan tersebut. Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa Tiger Woods butuh pelatih kalau jelas-jelas dia lebih hebat dari pelatihnya? Kita harus tahu bahwa Tiger Woods butuh pelatih bukan karena pelatihnya lebih hebat, namun karena ia butuh seseorang untuk melihat hal-hal yang tidak dapat dia lihat sendiri.

Hal-hal yang tidak dapat kita lihat dengan mata sendiri itulah yang disebut dengan blind spot atau titik buta. Kita hanya bisa melihat blind spot tersebut dengan bantuan orang lain. Saat selesai makan, kadangkala masih ada saja sisa makanan yang menyangkut di gigi kita. Entah itu kulit cabai atau sayuran yang lain. Itulah blind spot yang tidak bisa kita lihat sendiri. Kita butuh orang lain untuk mengingatkan kita tentang 'kecelakaan penampilan' seperti itu.

Hal yang sama juga berlaku dalam hidup kita. Kita butuh orang lain untuk melihat apa yang tidak dapat kita lihat. Kita selalu membutuhkan seseorang untuk mengawal kehidupan kita, sekaligus untuk mengingatkan kita seandainya prioritas hidup kita mulai bergeser. Kita butuh orang lain untuk menasihati, mengingatkan, bahkan menegur jika kita mulai melakukan sesuatu yang keliru, yang bahkan kita tidak pernah menyadarinya.

Kerendahan hati kita untuk menerima kritikan, nasihat dan teguran itulah yang justru menyelamatkan kita. Kita bukanlah manusia sempurna. Biarkanlah orang lain menjadi "mata" kita di area blind spot kita sehingga kita bisa melihat apa yang tidak bisa kita lihat dengan pandangan diri kita sendiri.





Kita butuh orang lain untuk membantu kita melihat apa yang selama ini kita tidak bisa lihat.



(taken from rh spirit, oktober, 2011)

Minggu, 28 April 2013

Kearifan Emas.






Seorang pemuda mendatangi Zun-Nun dan bertanya, "Guru, saya tak mengerti mengapa orang seperti anda mesti berpakaian apa adanya, amat sangat sederhana. Bukankah di masa seperti ini berpakaian sebaik-baiknya amat diperlukan? Bukan hanya untuk penampilan, melainkan juga untuk banyak tujuan lain?"

Sang guru hanya tersenyum. Ia lalu melepaskan cincin dari salah satu jarinya lalu berkata, "Sobat muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi terlebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Bisakah kamu menjualnya seharga satu keping emas?"

Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu. "Satu keping emas? Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu."

"Cobalah dulu, sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil."

Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya. Ternyata, tak seorang pun berani membeli seharga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak. Ia kembali ke padepokan Zun-Nun dan melapor, "Guru, tak seorang pun berani menawar lebih dari satu keping perak."

Zun-Nun sambil tetap tersenyum arif berkata, "Sekarang pergilah kamu ke toko emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang emas di sana. Jangan buka harga, dengarkan saja bagaimana ia memberikan penilaian."

Pemuda itu bergegas pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada Zun-Nun dengan raut wajah yang lain. Ia kemudian melapor, "Guru, ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas. Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar."

Zun-Nun tersenyum simpul sambil berujar lirih, "Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya. Hanya ‘para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar' yang menilai demikian. Namun tidak bagi ‘pedagang emas'."

"Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat ke kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan itu butuh proses, wahai sobat mudaku. Kita tak bisa menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas. Seringkali yang disangka emas ternyata loyang dan yang kita lihat sebagai loyang ternyata emas."

Sabtu, 27 April 2013

Seorang yang Bijaksana







Pada suatu hari ada seorang pemimpin paduan suara yang hendak memimpin paduan suaranya untuk menyanyikan lagu-lagu yang telah disiapkan di depan para hadirin yang memenuhi gedung konser. Jumlah anggota paduan suaranya kurang lebih 15 orang saja. Ketika mereka mulai menyanyi, sang pemimpin mulai merasakan suasana yang tidak enak. Ternyata ada yang fals. Karena fals, sang pemimpin paduan suara mulai diam dan mengamati. Namun, tidak ada lagi suara fals itu.

Kemudian, sang pemimpin bernyanyi lagi bersama-sama anggotanya, suara fals itu terdengar kencang. Sang pemimpin berhenti dan mengamati siapa biangnya? Namun, tidak lama kemudian ketahuan. Biangnya adalah sang pemimpin itu sendiri. Suara fals itu terdengar lantang karena sang pemimpin bernyanyi menggunakan pengeras suara. Ternyata, ketika sang pemimpin paduan suara berusaha mencari sumber masalah, dia sendirilah sumbernya.

Perumpamaan di atas mengingatkan kita untuk tidak menganggap diri sendiri selalu benar dan kemudian menyalahkan orang lain. Orang yang menganggap diri sendiri selalu benar pada akhirnya tidak mau belajar untuk berubah, padahal perubahan itu mutlak. Kalau seseorang tidak berubah, pada waktunya ia akan digilas oleh zaman dan tidak akan pernah menjadi pribadi yang lebih baik.

Seseorang yang menganggap dirinya bijak pastilah merasa tidak pernah salah. Kata 'sempurna' mungkin akan selalu dilekatkan pada dirinya, namun pada kenyataannya tidak ada manusia yang sempurna. Hanya satu pribadilah yang sempurna di dunia ini, yaitu Tuhan sendiri. Bijaksana memang harus dikejar. Namun, menganggap diri sendiri bijak sangatlah berbahaya. Ketika kita berpikir kita bijaksana, sesungguhnya itu adalah suatu kesombongan.

Sebelum kita melihat orang lain, kita perlu melihat diri sendiri dulu setiap saat. Belajar dari kesalahan juga mutlak dibutuhkan. Jangan menuduh orang lain terlebih dahulu sebelum berintrospeksi dan memeriksa diri sendiri. Jangan-jangan kita ini yang justru menjadi sumber masalahnya. Jangan sampai kita yang jadi malu sendiri nantinya.




Jangan menganggap diri bijak. Itulah bijak!


Jumat, 26 April 2013

Salah Alamat





Jamey Rodemayer adalah seorang remaja berusia 14 tahun yang berasal dari Buffalo, New York. Ia diketemukan tewas bunuh diri di rumahnya karena tidak tahan terus menerus dilecehkan oleh teman-temannya yang menganggap dia seorang gay. Sebenarnya niatan bunuh diri itu sudah ditulisnya di dalam blog pribadinya. Ia berharap dengan menuliskan curahan hatinya itu ia akan mendapatkan pertolongan atau setidaknya ada yang peduli padanya untuk mencegahnya melakukan tindakan bunuh diri itu.

Ada yang menulis, "Jamie bodoh, gay, gendut, dan jelek. Dia harus mati!" Ada pula yang menulis, "Aku tidak peduli kalau dia mati. Tak ada yang peduli. Jadi, lakukan saja." Tak ada yang mau mendengarkan dia.

Apa yang dilakukan Jamey adalah salah alamat. Ia justru datang kepada orang yang tidak tepat. Ia mengharapkan orang-orang akan menolongnya, tapi ia tidak datang kepada Tuhan. Ia mengandalkan orang lain untuk menolongnya dan bukan mengandalkan Tuhan.

Di dalam keputusasaan datanglah kepada Tuhan. Jangan biarkan justru iblis yang menguasai hati dan pikiran kita sehingga kita melakukan langkah keliru. Alamat pasti yang kita tuju adalah Tuhan. Bukan orang lain. Orang lain tak akan mampu memahami diri kita sedalam Tuhan memahami diri kita. Hari ini, biarlah kita diingatkan kembali untuk meminta pertolongan Tuhan sebagai langkah pertama. Memang Tuhan bisa memakai orang terdekat kita seperti sahabat, orang tua, guru untuk menolong kita, jika pada awalnya kita datang kepada Tuhan sebagai alamat pertama yang kita tuju. Ingat bahwa alamat yang kita tuju sangat menentukan seperti apa kita mendapatkan jawaban. Jika alamatnya saja sudah keliru, bisa dipastikan kita mendapatkan jawaban yang keliru juga.



Jika kita datang ke alamat yang tepat, maka kita akan mendapatkan jawaban yang tepat pula.

Selasa, 23 April 2013

Kekuatan Berpikir Positif







Suatu ketika seorang pria asing menelepon Norman Vincent Peale yang adalah seorang penulis buku “The Power of Positive Thinking”. Pria asing tersebut tampak sedih. Tidak ada lagi yang dimilikinya dalam hidup ini. Norman mengundang pria itu untuk datang ke kantornya.

“Semuanya telah hilang. Tak ada harapan lagi,” kata pria itu.

“Aku sekarang hidup dalam kegelapan yang amat dalam. Aku telah kehilangan hidup ini.

Norman Vincent Peale tersenyum penuh simpati.

“Mari kita pelajari keadaan anda,” kata Norman dengan lembut.

Pada selembar kertas ia menggambar sebuah garis lurus dari atas ke bawah tepat di tengah-tengah halaman. Ia menyarankan agar pada kolom kiri pria itu menuliskan apa-apa yang telah hilang dari hidupnya, sedangkan pada kolom kanan, ia menulis apa-apa yang masih tersisa.

“Kita tak perlu mengisi kolom sebelah kanan,” kata pria itu tetap dalam kesedihan.

“Aku sudah tak punya apa-apa lagi.”

“Lalu, kapan kau bercerai dari istrimu?” tanya Norman.

“Hei, apa maksudmu? Aku tidak bercerai dari istriku. Ia amat mencintaiku!“

“Kalau begitu bagus sekali,” sahut Norman penuh antusias.

“Mari kita catat itu sebagai nomor satu di kolom sebelah kanan “Istri yang amat mencintai”. Nah, sekarang kapan anakmu itu masuk penjara?”

“Anda ini konyol sekali. Tak ada anakku yang masuk penjara!”

“Bagus! Itu nomor dua untuk kolom sebelah kanan “Anak-anak tidak berada dalam penjara.” kata Norman sambil menuliskannya di atas kertas tadi. Setelah beberapa pertanyaan dengan nada yang serupa dilontarkan, akhirnya pria itu menangkap apa maksud Norman dan tertawa pada diri sendiri.

“Menggelikan sekali. Betapa segala sesuatunya berubah ketika kita berpikir dengan cara seperti itu,” katanya.

Seorang yang bijak pernah berkata bahwa bagi hati yang sedih, lagu yang riang pun terdengar memilukan. Sedangkan orang bijak yang lain berkata, sekali pikiran negatif terlintas di pikiran, dunia pun akan terjungkir balik.

Maka, mulailah hari dengan selalu berpikir positif.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...