Senin, 12 Juli 2010
Kucing Terburuk di Dunia
Pribadi yang lemah merupakan satu-satunya cacat yang tak termaafkan.—Francóis de La Róchefoucld.
Pertama kali aku melihat Smoky, ia sedang terbakar! Aku dan tiga anakku pergi ke tempat pembuangan sampah di pinggiran kota gurun Arizona untuk membuang sampah mingguan. Waktu kami mendekati lubang pembakaran, kami mendengar eongan paling mengenaskan dari seekor kucing yang terperangkap di antara tumpukan sampah.
Tiba-tiba sebuah kotak kardus besar, yang oleh pemiliknya diikat dengan kawat, terkena lidah api dan meledak. Dengan suara eongan panjang memilukan, hewan yang terperangkap di dalamnya melesat ke udara seperti sebuah roket menyala dan jatuh ke dalam lubang penuh abu panas.
”Bu, tolonglah dia!” teriak Jayme, anakku yang berusia tiga tahun sambil bersama kakaknya, Becky, enam tahun,membungkuk di tepi lubang.
”Rasanya tidak mungkin masih hidup.” kata Scott, empat belas tahun. Akan tetapi tumpukan abu itu bergerak, dan seekor anak kucing mungil, dengan rupa yang hampir tidak bisa dikenali, secara menakjubkan berusaha muncul ke permukaan dan merangkak ke arah kami dalam keadaan mengenaskan.
”Kena!” seru Scott. Waktu anakku, sambil berdiri dengan kaki terbenam dalam abu sampai selutut, membungkus anak kucing itu dengan bandanaku, aku heran mengapa binatang itu tidak menangis karena sakit tambahan yang dideritanya. Belakangan kami sadar bahwa eongannya beberapa saat lampau adalah yang terakhir.
Di peternakan, kami sedang mengobati anak kucing itu ketika suamiku, Bill, datang, dengan wajah kecapaian setelah seharian membetulkan pagar.
”Ayah! Kami menemukan anak kucing yang terbakar,” seru jayme.
Begitu melihat pasien kami, reaksi wajahnya yang khas langsung muncul. Ini bukan pertama kali kami menyambutnya dengan hewan yang terluka. Walaupun Bill seorang penggerutu, ia tidak tahan melihat makhluk hidup yang menderita. Maka ia membantu membuatkan kandang, sangkar atau tempat bertengger untuk sigung, kelinci, dan burung yang kami bawa pulang, bagaimanapun, yang satu ini berbeda. Ini seekor kucing. Dan Bill, jelas sekali, tidak menyukai kucing.
Terlebih lagi, ini bukan kucing biasa. Di tempat yang semestinya ada bulu, yang ada hanya carut-carut luka dan kerak hitam yang lengket. Telinganya hilang. Ekornya terpanggang smapai tinggal tulang. Juga tidak ada cakar yang seharusnya dapat mencengkeram tikus. Hilang pula telapak kaki yang kalau ada akan meninggalkan jejak pada apa pun yang diinjaknya. Apa pun yang menjadi ciri seekor kucing telah hilang—kecuali dua bola mata besar kebiruan yang memancarkan permintaan tolong.
Apa yang dapat kami perbuat?
Tiba-tiba aku teringat tumbuhan lidah buaya yang katanya manjur untuk mengobati luka bakar. Kami lalu menguliti daunnya, kemudian membungkus anak kucing itu dengan keratan-keratan daun lidah buaya dan membebatnya dengan kain kasa, dan kami baringkan dalam keranjang Paskah milik Jaymee. Yang dapat kami lihat hanyalah mukanya yang mungil, seperti kupu-kupu yang akan keluar dari kepompongnya.
Lidahnya menderita luka bakar parah, dan bagian dalam mulutnya juga begitu melepuh sehingga ia tidak bisa menjilat, maka kami menyuapinya susu dan air dan menggunakan pipet. Sesudah beberapa lama, ia mulai makan sendiri.
Kami menamai anak kucing itu Smoky.
Tiga pekan kemudian, keratan-keratan lidah buaya itu lepas dari luka-lukanya. Sekarang kami melaipisi tubuh Smoky dengan salep yang menjadikannya berwarna kehijauan. Ekornya buntung. Bulu-bulunya tidak ada—tapi anak-anak dan aku menyayanginya.
Bill belum menyukainya. Dan Smoky takut kepadanya. Alasannya? Bill seorang perokok pipa yang selalu membawa korek api. Setiap kali ia menyalakan pipanya, Smoky menjadi panik, menyenggol cangkir kopi dan lampu lalu kabur lewat lubang ventilasi ke sebuah kamar kosong.
”Tidak bisakah aku menikmati ketenangan barang sedikitpun?” gerutunya.
Lama kemalamaan, Smoky menjadi lebih toleran terhadap pipa dan pemiliknya. Ia sering berbaring di atas sofa sambil menatap Bill yang sedang menikmati pipanya. Pada suatu hari ia memandangku dan bergumam, ”Kucing sialan ini membuatku bersalah.”
Setahun kemudian, Smoky mirip dengan sebuah sarung tangan las yang sudah usang. Di kalangan teman-temannya, Scott dikenal sebagai pemilik kucing paling buruk di Amerika—bahkan mungkin di seluruh dunia.
Lambat laun, entah bagaimana, Bill menjadi yang paling disukai oleh Smoky. Dan tidak berapa lama, aku memperhatikan sebuah perubahan padanya. Kini ia jarang merokok di dalam rumah, dan pada suatu malam musim dingin, di luar dugaanku, aku menemukan Bill duduk di kursinya sambil memangku kucing gundul itu. Sebelum aku berkomentar, ia berkilah, ”Kelihatannya ia kedinginan—bukankah dia tidak memiliki bulu.”
Tetapi, aku tahu betul bahwa Smoky senang dengan sentuhan hawa dingin. Bukankah ia sering tidur di lubang ventilasi atau di atas lantai yang dingin?
Tampaknya Bill mulai agak menyukai hewan bertampang aneh ini.
Tidak banyak orang yang berperasaan seperti kami terhadap Smoky, terutama mereka yang belum pernah melihatnya. Desas-desus yang beredar akhirnya sampai ke sekelompok orang yang mengaku penyayang hewan, dan pada suatu hari salahs eorang dari mereka datang.
”Saya menerima sejumlah telepon dan surat dari begitu banyak orang,” kata wanita itu. ”Mereka merasa kasihan dengan seekor kucing malang yang katanya pernah terbakar di rumah anda. Menurut mereka,” sambung wanita itu dengan suara turun satu oktaf, ”kucing itu menderita. Barangkali ia harus dibebaskan dari penderitaannya.”
Aku marah sekali. Bill bahkan lebih marah lagi. ”Memang, kucing itu pernah terbakar,” katanya dengan geram, ”tapi apakah ia menderita? Lihat saja sendiri!”
”Puss, kemari,” aku memanggilnya. Tapi Smoky entah di mana. ”Barangkali ia bersembunyi,” kataku, tapi tamu kami tidak menjawab. Ketika aku berpaling ke arah wanita itu, ia tiba-tiba menjadi pucat, mulutnya ternganga sambil menunjuk ke suatu arah.
Dengan tampilan sepuluh kali lebih besar dalam ketelanjangannya yang sangat nyata, Smoky menyeringai kepada tamu kami dari tempat persembunyiannya di balik sebuah akuarium 15 galon. Bukannya ”kucing kecil malang korban kebakaran” seperti yang dibayangkannya, Smoky yang menyeramkan ini malahan seperti monster menatap tajam kepadanya dari balik akuarium yang kehijauan. Rahangnya yang terbuka memperlihatkan dua taring seperti pedang gemerlap kena cahaya lampu. Sesaat kemudian wanita itu segera minta diri—kini sambil tersenyum, agak tersipu dan menyatakan kelegaannya.
Pada tahun kedua, sesuatu yang ajaib terjadi pada Smoky. Bulunya mulai tumbuh. Bulu-bulu yang berwarna putih itu, yang lebih lembut dan lebih halus daripada bulu seekor anak ayam, berangsur-angsur tumbuh sampai lebih dari tujuh sentimeter, sehingga kucing buruk rupa kami berubah menjadi segumpal kapas lembut.
Bill terus menikmati kucing ini, walaupun keduanya merupakan pasangan yang tidak serasi—yang satu laki-laki peternak berpenampilan kasar yang mengendarai mobilnya dengan pipa tidak dinyalakan, sedangkan di sebelahnya seekor kucing yang lebih mirip segumpal bola kapas. Apabila ia keluar dari truk untuk memeriksa ternak, ia membiarkan pendingin udara menyala maksimum agar sang kucing merasa nyaman. Mata birunya berkaca-kaca, hidung merah mudanya terus bergerak-gerak, tetapi ia duduk dengan tenang, tidak berkedip, seperti terpesona. Kadang-kadang, Bill memungutnya, mendekapnya rapat-rapat ke jaket denimnya, dan membawanya bekerja.
Smoky berusia tiga tahun pada hari ketika ia pergi bersama Bill untuk mencari seekor anak sapi yang hilang. Dalam kesibukan mencari yang memakan waktu berjam-jam itu, ia membiarkan pintu truk terbuka setiap kali menemukan tempat yang perlu diselidiki. Saat itu padang penggembalaan betul-betul gersang dan kering kerontang. Awan badai sudah mengintip di cakrawala, namun sapi itu belum ditemukan. Karena kecewa, tanpa pikir panjang, Bill merogoh sakunya untuk mengambil korek api dan langsung menyalakannya. Tanpa disadari ada percikan api yang jatuh ke tanah dan dalam beberapa detik saja, rumput kering mulai terbakar.
Dalam keadaan panik, Bill tidak ingat dengan kucingnya. Baru setelah api berhasil dikendalikan, sapi ditemukan, dan pulang ke rumah, ia teringat dengan kucing itu.
”Smoky!” serunya. ”Ia pasti telah melompat keluar dari truk! Apakah ia pulang ke rumah?”
Tidak. Dan kami tahu ia tidak akan pernah menemukan jalan pulang dari tempat sejauh tiga kilometer. Yang lebih menyedihkan, hujan langsung turun—maka mustahil kami pergi untuk mencarinya.
Bill kebingungan setengah mati dan tidak berhenti menyalahkan diri sendiri. Esok harinya kami menghabiskan waktu seharian untuk mencari, dengan harapan ia dapat mengeong lagi untuk minta tolong. Dan kami tahu bahwa ia tidak berdaya bila bertemu hewan pemangsa. Pencarian itu tidak berhasil.
Dua pekan kemudian, Smoky masih belum pulang. Kami takut kalau ia sudah mati, karena musim hujam telah dimulai, dan burung elang, serigala, dan anjing hutan mempunyai keluarga yang harus diberi makan.
Setelah itu datang hujan badai di daerah kami, sesuatu yang hanya terjadi sekali dalam lima puluh tahun. Banjir melanda di mana-mana, membuat hewan-hewan liar dan ternak menyelamatkan diri ke tempat-tempat yang lebih tinggi. Kelinci yang ketakutan, rakun, tupai dan tikus gurun tampak menunggu sampai air surut, ketika Bill dan Scott berjalan dengan susah payah dalam genangan lumpur setinggi lutut, sambil menggiring anak-anak sapi yang gelisah kembali ke induk masing-masing dan ke tempat aman.
Aku dan anak-anak perempuan sedang menyaksikan semua itu ketika Jaymee berseru, ”Ayah! Itu kasihan kelinci kecil yang di sana. Tolong ambilkan...”
Bill berjalan selangkah-selangkah menuju ke tempat hewan itu terbaring, tetapi ketika mengulurkan tangannya untuk menolong makhluk kecil itu, ia terkejut setengah mati. ”Tidak mungkin,” teriak Bill. ”Ini Smoky!” Suaranya serak karena terharu. ”Ini Smoky!”
Aku tak kuat menahan tangis ketika kucing kecil yang malang itu merangkak ke tangan lelaki yang telah ia tumbuhkan rasa sayangnya. Bill mendekap tubuh yang menggigil itu ke dadanya, mengajaknya bicara dengan lembut, dan dengan hati-hati menyeka lumpur dari mukanya. Mata birunya terus menatap ke wajah lelaki itu, seolah-olah mengatakan bahwa ia telah memaafkannya.
Smoky telah berada di rumah lagi. Ketenangan yang ditunjukkannya ketika kami memandikannya sangat mengejutkan. Kami memberinya telur dan es krim, dan betapa menggembirakan ketika tampaknya ia membaik.
Tetapi Smoky tidak pernah menjadi kucing yang kuat. Pada suatu pagi ketika usianya menjelang empat tahun, kami menemukannya berbaring tak bergerak di kursi Bill. Jantungnya berhenti berdetak.
Waktu aku membungkus tubuh kecilnya dalam salah satu saputangan merah milik Bill dan menempatkannya dalam sebuah kotak sepatu anak-anak, aku berpikir tentang banyak hal yang diajarkan kepada kami oleh Smoky tercinta—kepercayaan, kasih sayang, dan keberanian untuk bersikap teguh meskipun semua orang mengatakan kita tidak akan berhasil. Ia mengingatkan kepada kami bahwa bukan tampak luar yang ada di dalam—jauh di dalam lubuk hati.
Penny Porter.
Labels:
Kisah inspirasi
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Share your feeling here